Inilah nafas yang mengagumimu adinda.
Bukan sekedar rangkaian langkah tanpa jejak tapi lebih berharap bisa menjadi
panutan anak cucu kita kelak. Tapi mengapa, mengapa semua itu terhenti.
Bukankah kita diciptakan berpasangan seperti Rama dan Shinta, TNI dan NKRI, Paus
dan Tuhan.
Saat pertemuan kita itu mengisyaratkan sakura
untuk mekar pada musim gugur. Menjemukkan memang ketika mengerti akan kemana
hubungan ini, saat pertama kita berkomitmen dengan segala konsekuensi yang ada.
Tahun demi tahun kita jalani, menjalani hari dengan kebohongan kepada sang
cahaya dan berharap belaian lembut dari “mereka”, tapi apa daya, ada hal yang
memisahkan kita.
Kita pun sadar untuk memberi jalan
pada kewenangan mereka yang merawat kita untuk menentukan apa yang menurut
mereka dan bukan kita atau adinda itu baik untuk dipilih. Kekolotan kadang bisa
mengalahkan takdir yang sudah digariskan, atas dasar “tahu” yang terbaik untuk
adidnda mereka punya wewenang untuk membiaskan apa yang sudah kita jalankan.
Rasa sayang, cinta itu bukan apa-apa,
kadang semua itu masih harus ditambah dengan hal hal materiil yang melengkapi
perjalanan cintamu, layaknya bintang yang tak akan bersinar terang sendiri
tanpa bantuan bulan yang memiliki kekuatan lebih besar. Seperti adinda, yang
tak hidup hanya atas dasar cinta tapi juga adat budaya agama dan ras. Inilah
kekuatan mereka yang lebih besar ketimbang cinta dan kenyamanan yang aku
hadirkan. Bukan, mungkin bukan uang yang mereka atasnamakan perpisahan ini,
tapi kesamaan warna kulit yang mereka anggap tak akan dapat saya rubah untuk
mendapatkan adinda.
Apakah mereka sadar cinta kita?
Ataukah mereka pernah berfikir ingin ada pada posisi kita? Mencintai dengan
perbedaan yang tak akan pernah bisa kita rubah? Aku rasa tidak. Ingin rasanya
aku berteriak atas daun telinga mereka, “ Kami berbeda, ya, kami memang
berbeda, lalu, bukankah perbedaan ini cipta yang kuasa, bukankah seharusnya
kalian menerima dan tidak memkasakan apa yang cipta ingin persatukan? “
Ketika yang kalian permasalahkan
adalah perbedaan iman dan kepercayaan, saya rela berpindah itu demi adinda dan
menjalaninya sesuai apa yang kalian minta. Tapi yang kalian permasalahkan
adalah bagaimana adat dan budaya kami yang berbeda. Pernahkah kalian berfikir
seorang Jawa berubah menjadi Batak, berubah menjadi Minang atau TiongHoa?
Ketika cinta mereka benar sejati dan
kalaupun bertapa di dalam gua gelap penuh serangga harus mereka lakukan demi
perubahan itu, saya yakin, itu akan mereka lakukan, dan itupun yang akan saya
lakukan, tapi mohon, mohon kali ini saja kalian sang pemberi kuasa atas adinda
mengerti bahwa ini sesuatu yang mustahil. Bagaimana anda ingin merubah warna
kulit seseorang? Hanya demi kesamaan adat dan kebudayaan agar itu tetap lestari
terjaga. Apakah itu yang kalian inginkan? Kelestarian budaya dan terjaganya
adat tanpa terfikir posisi adinda sebagai daun yang terbang ditiup angin dan
lunglai tanpa bantuan batang yang mendekapnya?
Dan kalian menang. Berpisah atau
lebih tepatnya dipisahkan adalah jalan yang kami pilih untuk memberikan ruas
tersunggingnya bibir kalian. Dan sejak saat itu pula saya tidak pernah berfikir
bahwa percintaan beda agama itu sesuatu yang sulit, hei kalian masih
bisa merubahnya, coba tengok adinda, dia menjalani percintaan beda ras, apakah yang
harus ia lakukan untuk mempersatukan cintanya. Berganti ras? Hmm.. saya rasa
tidak, tidak mungkin bisa seperti kalian yang menjalani percintaan beda agama.
Adinda, sampai sekarang cinta ini
masih terjaga, pegang janjimu atas kekuasaan tubuhmu yang tak akan kau berikan
pada seorang lain sampai nanti kelak mereka yang berkuasa atasmu mengerti dunia
ini heterogen dengan kadang perbedaan yang benar-benar tidak dapat dirubah tapi
memang harus dipersatukan.
* saya, dia dan pemberi benih.