Lah aku.
Lah aku ki sek ra reti nopo iso ndelok lan ketemu koe nduk.
Lah aku yo ra reti nopo kok iso frontal banget.
Lah aku yo mung pengen ngerti koe sek kok.
Lah aku ki sakjane yo pengen biasa wae.
Lah aku ki ra reti nek mben wengi pengen paling ora iso ketemu koe.
Lah aku ki sibuk, koe sibuk, tur terus wae tak golek selo ketemu.
Lah aku ki sakjane mbengi yo ana garapan.
Lah aku ki pengene ra koyo ngene.
Lah aku ra iso nahan sek jenenge tresno to.
Lah aku gelem ra gelem nrimo apik elek e kabeh sek bakal tak tompo.
Lah aku ki ra reti jebul koe ndue yang.
Lah aku ki karang nek wes seneng yo tak perjuangke.
Lah aku ki ra pengen ngrusak hubungan.
Lah aku ki yo ra pengen soyo kejeron.
Lah aku ki wes takon cah cah penake pie.
Lah aku ki sakjane raiso nahan sek jenenge rasa sayang.
Lah aku sek saiki cedhak.
Lah aku ki sek pengen paling ora mbantu koe dalam bentuk opo wae.
Lah tapi........
Lah tapi yowes, karang isone gur tekan semene sek to.
Lah aku ki yo ndongo mugo-mugo.................................................
@wisnukunt
6 September 2012 2 Comments
.........
Pagi ini terbangun bersama mentari, bukan lagi untuk mengucapkan selamat pagi untukmu yang tak lagi di sisi.
Melihat jemari seolah ingin menggenggam kembali kisah lama itu.
Bersama awan mencoba melangkah memberi celah untuk hatiku yang ingin bersua dengan teriakan dan tawa dari sahabat
Harga ini memang pantas kau terima yang terbaik di hidupku, dan kau telah memberi warna untuk berputarnya waktuku. Terimakasih kisah lalu.
19 Juli 2012 Leave a comment
Lirik Tanpa Nada Untuk Seorang Sahabat
Resah saat terbuai cinta yang kau umbar. Terbuai kasih dan ucapan rindu.
Jalinan asmara yang terekam ribuan malam akhirnya harus berakhir.
Memang harus terjadi dan ini yang digariskan. Terlambat sudah untuk mencari cahaya.
Reff.
Yang kumau kau tau, kau berharga memberi rasa pada hatiku, membalut cinta yang
tergores ucapan pilu. Kau berharga untukku entah sampai kapan, tapi ini jalan yang kupilih, untuk memberi senyuman tersungging di bibirmu kembali.
Semua tinggal cerita antara kau dan aku kini. Bukan perkara mudah bagiku, memberi rasa bahagia bagi pemilik hati. Peluk tubuhmu dan kecup keningmu seraya berkata aku cinta padamu.
Ini buat temanku.
Kita Hidup Atas Dasar Sejarah dan Budaya.
Ya, ya memang seharusnya kita tidak terpaku pada pakem yang ada untuk menjalankan sebuah acara. Tapi bukankah kita juga tidak boleh meninggalkan apa yang ada dan sudah diperjuangkan oleh tetua. Kadang saya berfikir juga, apakah yang tua masih tetap memikirkan hal ini, dalam arti ketika kita meninggalkan pakem yang mereka juga gariskan dan jalankan dahulu apakah mereka acuh tak acuh atau malah mereka tersinggung. Terlepas dari itu sebenarnya saya hanya ingin rasa penghargaan atas mereka juga dijaga dengan tidak meninggalkan perubahan yang ingin kita bawa. Salut untuk perubahan yang kalian bawa kawan. Ingat kita hidup atas dasar sejarah dan budaya. Seperti Bung Karno katakan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"
Sebuah rapat turun temurun.
Hati, Pikiran dan Ucapan.
Hei gadis, apa yang kamu pikirkan sehingga kau mau kembali ke pelukannya.
Bukankah kau bilang padaku dulu dia hanya memberi luka dan kau menahan dusta akan sakitnya hatimu?
Saat rasa kau beri asa tapi ternyata ia lebih memberi cahaya padamu walaupun kau tahu hatimu tersayat sembilu.
Kini tak ada lagi pundak bagimu dariku. Kau umbar rasa bahagia bersamanya walaupun entah apa itu yang kau rasa atau hanya elegi belaka.
Kadang hati, otak, dan ucapan bisa memberi harapan atau bahkan sayatan bagi jiwa yang kesepian.
Saat kita mulai mendekat (dahulu)
Hei. Ini Lebih Sulit!
Inilah nafas yang mengagumimu adinda.
Bukan sekedar rangkaian langkah tanpa jejak tapi lebih berharap bisa menjadi
panutan anak cucu kita kelak. Tapi mengapa, mengapa semua itu terhenti.
Bukankah kita diciptakan berpasangan seperti Rama dan Shinta, TNI dan NKRI, Paus
dan Tuhan.
Saat pertemuan kita itu mengisyaratkan sakura
untuk mekar pada musim gugur. Menjemukkan memang ketika mengerti akan kemana
hubungan ini, saat pertama kita berkomitmen dengan segala konsekuensi yang ada.
Tahun demi tahun kita jalani, menjalani hari dengan kebohongan kepada sang
cahaya dan berharap belaian lembut dari “mereka”, tapi apa daya, ada hal yang
memisahkan kita.
Kita pun sadar untuk memberi jalan
pada kewenangan mereka yang merawat kita untuk menentukan apa yang menurut
mereka dan bukan kita atau adinda itu baik untuk dipilih. Kekolotan kadang bisa
mengalahkan takdir yang sudah digariskan, atas dasar “tahu” yang terbaik untuk
adidnda mereka punya wewenang untuk membiaskan apa yang sudah kita jalankan.
Rasa sayang, cinta itu bukan apa-apa,
kadang semua itu masih harus ditambah dengan hal hal materiil yang melengkapi
perjalanan cintamu, layaknya bintang yang tak akan bersinar terang sendiri
tanpa bantuan bulan yang memiliki kekuatan lebih besar. Seperti adinda, yang
tak hidup hanya atas dasar cinta tapi juga adat budaya agama dan ras. Inilah
kekuatan mereka yang lebih besar ketimbang cinta dan kenyamanan yang aku
hadirkan. Bukan, mungkin bukan uang yang mereka atasnamakan perpisahan ini,
tapi kesamaan warna kulit yang mereka anggap tak akan dapat saya rubah untuk
mendapatkan adinda.
Apakah mereka sadar cinta kita?
Ataukah mereka pernah berfikir ingin ada pada posisi kita? Mencintai dengan
perbedaan yang tak akan pernah bisa kita rubah? Aku rasa tidak. Ingin rasanya
aku berteriak atas daun telinga mereka, “ Kami berbeda, ya, kami memang
berbeda, lalu, bukankah perbedaan ini cipta yang kuasa, bukankah seharusnya
kalian menerima dan tidak memkasakan apa yang cipta ingin persatukan? “
Ketika yang kalian permasalahkan
adalah perbedaan iman dan kepercayaan, saya rela berpindah itu demi adinda dan
menjalaninya sesuai apa yang kalian minta. Tapi yang kalian permasalahkan
adalah bagaimana adat dan budaya kami yang berbeda. Pernahkah kalian berfikir
seorang Jawa berubah menjadi Batak, berubah menjadi Minang atau TiongHoa?
Ketika cinta mereka benar sejati dan
kalaupun bertapa di dalam gua gelap penuh serangga harus mereka lakukan demi
perubahan itu, saya yakin, itu akan mereka lakukan, dan itupun yang akan saya
lakukan, tapi mohon, mohon kali ini saja kalian sang pemberi kuasa atas adinda
mengerti bahwa ini sesuatu yang mustahil. Bagaimana anda ingin merubah warna
kulit seseorang? Hanya demi kesamaan adat dan kebudayaan agar itu tetap lestari
terjaga. Apakah itu yang kalian inginkan? Kelestarian budaya dan terjaganya
adat tanpa terfikir posisi adinda sebagai daun yang terbang ditiup angin dan
lunglai tanpa bantuan batang yang mendekapnya?
Dan kalian menang. Berpisah atau
lebih tepatnya dipisahkan adalah jalan yang kami pilih untuk memberikan ruas
tersunggingnya bibir kalian. Dan sejak saat itu pula saya tidak pernah berfikir
bahwa percintaan beda agama itu sesuatu yang sulit, hei kalian masih
bisa merubahnya, coba tengok adinda, dia menjalani percintaan beda ras, apakah yang
harus ia lakukan untuk mempersatukan cintanya. Berganti ras? Hmm.. saya rasa
tidak, tidak mungkin bisa seperti kalian yang menjalani percintaan beda agama.
Adinda, sampai sekarang cinta ini masih terjaga, pegang janjimu atas kekuasaan tubuhmu yang tak akan kau berikan pada seorang lain sampai nanti kelak mereka yang berkuasa atasmu mengerti dunia ini heterogen dengan kadang perbedaan yang benar-benar tidak dapat dirubah tapi memang harus dipersatukan.
* saya, dia dan pemberi benih.
11 Juli 2012 1 Comment
Arsip Blog
Diberdayakan oleh Blogger.